Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, mengungkapkan bahwa pemerintahannya akan membentuk sebuah lembaga yang berfokus pada “keberangkatan sukarela” bagi warga Gaza. Keputusan ini diambil setelah Israel mengungkapkan dukungannya terhadap usulan kontroversial Amerika Serikat yang mengusulkan pengambilalihan wilayah Palestina dan pemindahan penduduknya.
Kementerian Pertahanan Israel menyatakan bahwa pada hari Senin, Katz memimpin sebuah pertemuan terkait topik ini. “Menteri Pertahanan Israel Katz mengadakan pertemuan mengenai keberangkatan sukarela penduduk Gaza, dan akhirnya memutuskan untuk membentuk sebuah direktorat khusus dalam kementerian yang akan menangani proses ini,” ujar pernyataan resmi yang diterbitkan, yang juga dilansir oleh Al Arabiya dan AFP, pada Selasa (18/2/2025).
Awal bulan ini, Katz mengungkapkan bahwa dirinya telah memberi perintah kepada militer untuk menyiapkan sebuah rencana yang akan memungkinkan warga Palestina yang tinggal di Gaza untuk meninggalkan wilayah tersebut. Dia juga menyatakan dukungannya terhadap inisiatif yang diprakarsai oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang dapat membuka peluang bagi penduduk Gaza untuk berpindah ke negara lain di seluruh dunia.
Pertemuan yang berlangsung pada hari Senin (17/2) lalu menghasilkan rencana yang lebih rinci, yang mencakup penyediaan bantuan menyeluruh bagi warga Gaza yang ingin beremigrasi secara sukarela ke negara ketiga. Paket bantuan ini, menurut pernyataan Kementerian Pertahanan Israel, akan mencakup berbagai pengaturan untuk keberangkatan khusus melalui jalur darat, laut, dan udara.
Pada kesempatan terpisah, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengungkapkan komitmennya terhadap rencana yang diusulkan oleh Trump untuk mengubah Gaza secara signifikan. Netanyahu menegaskan bahwa setelah konflik berakhir, “tidak akan ada lagi Hamas maupun Otoritas Palestina” yang menguasai wilayah tersebut.
Usulan Trump mengenai “pengambilalihan” Gaza oleh AS dan relokasi penduduk Palestina ke negara-negara lain seperti Mesir dan Yordania, meski tidak disertai dengan rincian lebih lanjut, telah memicu kemarahan global yang luas. Keputusan ini menuai banyak kecaman internasional karena dianggap akan memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah berlangsung lama di kawasan tersebut.