Di tengah kerusakan parah yang ditinggalkan oleh perang di Gaza, Mohamed Attiya, seorang pria berusia 54 tahun, harus mengarungi jalanan yang rusak dengan kursi roda, dua kali seminggu, untuk mendapatkan perawatan dialisis yang ia perlukan untuk bertahan hidup. Perjalanan panjang dari tempat penampungan sementara di sebelah barat Kota Gaza menuju Rumah Sakit Shifa di utara kota tersebut adalah rutinitas yang penuh tantangan. Sudah hampir 15 tahun, Attiya berjuang melawan gagal ginjal, namun fasilitas kesehatan yang terbatas akibat kerusakan perang dan kekurangan persediaan medis, tidak cukup untuk memastikan kesehatannya.
“Itu hanya menghidupkan Anda kembali dari kematian,” ujar Attiya, yang juga seorang ayah dari enam anak. Kalimat itu menggambarkan betapa perawatan yang diterimanya hanyalah usaha untuk menghindarkan dirinya dari maut, bukan solusi yang menyeluruh. Bagi banyak pasien lain yang serupa, perjalanan hidup mereka semakin suram karena krisis perawatan medis yang semakin memperburuk keadaan.
Lebih dari 400 pasien gagal ginjal di Gaza meninggal dunia akibat kurangnya perawatan yang memadai, mewakili sekitar 40 persen dari seluruh pasien dialisis di wilayah tersebut. Angka kematian ini menjadi bagian dari korban perang yang tak terdengar—bukan ledakan yang memecah tanah, bukan reruntuhan yang menutupi jalan, namun ketidakmampuan untuk mendapatkan perawatan medis yang layak. Sejak blokade yang dilakukan Israel dimulai pada Maret 2025, 11 pasien gagal ginjal telah meninggal dunia akibat terhambatnya distribusi bantuan medis dan makanan.
Hingga baru-baru ini, Attiya harus berjalan kaki menuju rumah sakit, namun kini ia terpaksa menggunakan kursi roda untuk menghadapi kenyataan yang lebih keras: melonjaknya biaya air mineral yang seharusnya diminum untuk mendukung proses dialisis. “Ketidakmampuan untuk membeli air yang cukup, ditambah dengan perawatan yang terbatas, benar-benar memperburuk keadaan,” ujarnya.
Sistem kesehatan Gaza, yang sudah rapuh sebelum perang, kini menghadapi keruntuhan total. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa enam dari tujuh pusat dialisis di Gaza telah hancur akibat dampak perang. Sebelum konflik dimulai, wilayah tersebut memiliki 182 mesin dialisis, namun kini hanya tinggal 102 mesin yang tersedia, dengan 27 di antaranya terletak di Gaza utara—tempat ratusan ribu pengungsi berlindung selama gencatan senjata yang hanya sementara.
Kekurangan peralatan dialisis semakin parah dengan tidak adanya persediaan obat-obatan yang diperlukan untuk merawat pasien gagal ginjal. “Kekurangan ini semakin diperburuk oleh hilangnya pasokan obat ginjal yang krusial,” kata WHO dalam laporannya.
Dr. Ghazi al-Yazigi, kepala departemen nefrologi dan dialisis di Rumah Sakit Shifa, menyatakan bahwa sebanyak 417 pasien gagal ginjal di Gaza telah meninggal dunia selama perang. Menurutnya, kondisi yang semakin memburuk akibat terbatasnya akses perawatan menyebabkan komplikasi yang fatal, seperti peningkatan kadar racun dalam tubuh dan penumpukan cairan yang dapat berujung pada kematian.
Bagi pasien-pasien seperti Attiya, setiap sesi dialisis yang semakin terbatas dan lebih pendek, sama halnya dengan bertaruh nyawa. Harapan hidup mereka kini bergantung pada pertolongan yang semakin langka, sementara dunia luar tampak terperangkap dalam kebuntuan politik yang tak kunjung reda. Ketika kehidupan terancam, mereka tidak hanya melawan penyakit, tetapi juga melawan waktu yang semakin mendekatkan mereka pada kematian.