Lonjakan Kasus Talasemia di Indonesia, Wilayah Ini Jadi yang Terparah

sahrul

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengungkapkan bahwa jumlah penderita talasemia mayor mengalami peningkatan signifikan dari tahun 2014 hingga 2022. Lonjakan tertinggi terlihat pada tahun 2022, ketika angka pasien bertambah menjadi 12.155 orang, naik dari 10.973 orang pada tahun sebelumnya.

Talasemia merupakan kelainan darah bawaan yang membuat sel darah merah kesulitan memproduksi hemoglobin secara optimal — protein penting yang bertugas mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Kondisi ini menyebabkan tubuh kekurangan oksigen yang cukup, sehingga menimbulkan dampak kesehatan yang serius.

“Artinya, memang perkiraan 2.500 bayi lahir setiap tahunnya sebagai penyandang talasemia mayor ini kemungkinan benar adanya,” ujar Ketua Tim Kerja Penyakit Kelainan Darah dan Imunologi Kemenkes, dr. Endang Lukitosari, M. Epid, saat berbicara dalam webinar peringatan Hari Talasemia Sedunia pada Selasa (20/5).

Pusat dari kasus talasemia di Indonesia paling banyak ditemukan di Pulau Jawa, dengan sekitar 38,8 persen dari total penderita, atau sebanyak 4.717 pasien tercatat di Provinsi Jawa Barat. Disusul oleh Jawa Tengah dengan 1.468 orang, DKI Jakarta sebanyak 864 orang, serta Jawa Timur dengan 771 kasus. Sebaliknya, wilayah Kalimantan dan Nusa Tenggara mencatat jumlah kasus paling sedikit.

dr. Endang mengingatkan bahwa tanpa upaya pencegahan, penderita talasemia berpotensi menghadapi komplikasi serius. “Kalau kita tidak melakukan upaya pencegahan berupa skrining, ini tentunya ada komplikasi medis, dan juga ada komplikasi non medis karena terjadi perubahan fisik. Kemudian juga memerlukan upaya waktu pengobatan seumur hidup, dan ada stigma kemungkinan menjadi penghambat,” jelasnya.

Komplikasi medis yang mungkin muncul meliputi gangguan pada fungsi jantung, penyakit hati, kelainan endokrin, osteoporosis, hingga infeksi. Perubahan fisik yang dialami pun bisa berdampak psikososial bagi pasien, termasuk stigmatisasi dari lingkungan sekitar.

Selain beban kesehatan, lonjakan kasus talasemia juga berpengaruh pada tekanan keuangan negara. Biaya terapi suportif untuk satu pasien talasemia mayor sejak lahir hingga usia 18 tahun diperkirakan mencapai sekitar lima miliar rupiah. Talasemia bahkan menempati posisi kelima dalam daftar penyakit katastropik dengan biaya pengobatan tertinggi pada 2021.

Untuk mengurangi dampak medis sekaligus beban ekonomi tersebut, Kementerian Kesehatan mendorong perluasan program skrining talasemia. Tes skrining ini hanya perlu dilakukan sekali dalam seumur hidup dengan biaya yang jauh lebih terjangkau dibandingkan biaya pengobatan jangka panjang.

Langkah pencegahan dini ini diibaratkan sebagai benteng pertahanan pertama yang mampu mengurangi risiko komplikasi dan menghindarkan pasien dari biaya pengobatan yang membengkak, sekaligus memberikan harapan hidup yang lebih baik bagi para penderita talasemia di Indonesia.

Also Read

Tags

Leave a Comment