Peneliti senior dari Departemen Ekonomi CSIS, Deni Friawan, mengungkapkan kebingungannya terhadap langkah Presiden Prabowo Subianto yang berencana membentuk Komite Pemantau dan Akuntabilitas Danantara.
Pilihan untuk membentuk komite tersebut diatur dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah (Perpres) Nomor 10 Tahun 2025 mengenai Organisasi dan Tata Kelola Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).
Deni menilai bahwa secara konseptual, ide mendirikan Komite Pemantau dan Akuntabilitas Danantara bukanlah sesuatu yang keliru. Terlebih lagi, jika tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan tata kelola Danantara atau perusahaan BUMN yang berada di bawah naungannya.
Namun, ia mengingatkan bahwa saat ini sudah terdapat Dewan Pengawas dan Dewan Penasehat Danantara yang memiliki peran dalam mengawasi serta memastikan akuntabilitas lembaga tersebut.
“Buat apa dibentuk badan/institusi lagi yang hanya mempergemuk birokrasi dan menjadikannya lambat dan saling tumpang tindih kewenangan?” ujar Deni kepada Bisnis, Senin (3/3/2024).
Ia juga menyoroti kemungkinan bahwa keputusan untuk membentuk Komite Pemantau dan Akuntabilitas Danantara semata-mata bertujuan untuk mengakomodasi kepentingan tertentu.
Sejak awal, Deni melihat struktur organisasi serta pemilihan pimpinan Danantara tidak memiliki kejelasan dalam hal maksud dan tujuannya. Di satu sisi, lembaga ini dibentuk guna memperbaiki tata kelola perusahaan negara, tetapi di sisi lain, ia melihat adanya banyak kepentingan yang harus diakomodasi, menciptakan tarik-menarik dalam prosesnya.
“Akibatnya yang terjadi seperti itu, terjadi berbagai penyesuaian, termasuk beberapa aturan yang direvisi agar tidak melanggar, seperti hal dibolehkannya rangkap jabatan,” jelasnya.
Dalam Pasal 33 Perpres Nomor 10 Tahun 2025, disebutkan bahwa Kepala Badan Pelaksana diperbolehkan merangkap jabatan. Saat ini, Kepala Badan Pelaksana Danantara, Rosan Roeslani, juga menjabat sebagai Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM.