Kemenangan telak Liverpool atas Tottenham Hotspur dengan skor meyakinkan 5-1 di Anfield tak hanya mengantar klub Merseyside itu mengangkat trofi Liga Inggris. Di balik pesta gol tersebut, tersimpan fakta menarik yang mencuri perhatian para ahli di luar dunia sepak bola—khususnya kalangan matematikawan.
Musim ini menjadi kali kedua Liverpool berhasil menjuarai Liga Inggris sejak era Premier League dimulai pada 2012. Namun yang mengejutkan bukan hanya performa tim, melainkan fakta bahwa jumlah gelar juara dari klub-klub top Inggris ternyata membentuk sebuah pola angka yang sangat dikenal dalam dunia matematika: deret Fibonacci.
Dalam ilmu hitung, urutan Fibonacci adalah rangkaian angka di mana setiap bilangan merupakan hasil penjumlahan dari dua angka sebelumnya. Contoh sederhananya: 0+1 = 1, 1+1 = 2, 2+1 = 3, 3+5 = 8, dan seterusnya. Urutan ini terus berkembang tanpa batas dan sering ditemukan dalam fenomena alam seperti jumlah kelopak bunga atau struktur spiral cangkang siput.
Jika kita amati statistik perolehan gelar dari beberapa klub besar di Premier League, hasilnya menakjubkan:
- Blackburn Rovers: 1
- Leicester City: 1
- Liverpool: 2
- Arsenal: 3
- Chelsea: 5
- Manchester City: 8
- Manchester United: 13
Melansir dari IFLScience, susunan angka ini secara tak sengaja menyusun urutan Fibonacci: 1, 1, 2, 3, 5, 8, 13. Walau bisa dianggap sebagai kebetulan belaka, keterkaitan antara statistik olahraga dan logika matematis semacam ini menjadi bahan diskusi yang menyenangkan, terutama di kalangan akademisi dan penggemar angka.
Sejarah deret Fibonacci sendiri cukup menarik. Meski dinamai dari ilmuwan Italia, Leonardo Fibonacci, konsep ini sebenarnya pertama kali dicetuskan oleh para ahli India abad pertengahan ketika mengamati struktur dalam puisi Sansekerta. Fibonacci kemudian mengadaptasinya dalam studi tentang reproduksi kelinci.
“Asumsi reproduksi yang umum adalah bahwa setiap pasang kelinci melahirkan sepasang kelinci lain setiap bulan. Dimulai dengan sepasang kelinci tunggal, dan populasi berikutnya akan mengikuti urutan 1, 2, 4, 8, 16, 32, 64, 128, 256 dan seterusnya – yaitu, dikalikan dengan ‘rasio pertumbuhan’ bulanan sebesar 2,” ungkap Manil Suri, Profesor Matematika dan Statistik di University of Maryland, Baltimore County.
Namun, perhitungan Fibonacci justru melihat pola yang lebih lambat dan realistis.
“Namun, yang diamati Fibonacci adalah bahwa kelinci menghabiskan siklus pertama untuk mencapai kematangan seksual dan baru mulai bereproduksi setelah itu. Sepasang kelinci sekarang menghasilkan perkembangan yang lebih lambat, yaitu 1, 1, 2, 3, 5, 8, 13, 21, 34… sebagai gantinya. Ini adalah urutan terkenal yang dinamai Fibonacci; perhatikan bahwa setiap populasi ternyata merupakan jumlah dari dua pendahulunya,” jelas Suri.
Meski menarik, tentu saja sepak bola bukanlah soal logika angka semata. Banyak faktor seperti strategi, stamina, dan bahkan keberuntungan turut memainkan peran penting. Jika salah satu tim papan atas menambah koleksi gelar musim depan, simetri angka Fibonacci ini bisa langsung runtuh. Tapi setidaknya, untuk saat ini, matematika dan sepak bola seolah sedang saling bersalaman.