Suara Tak Terdengar: Mengungkap Peran Ekonomi Pedagang Keliling di Indonesia

Yono

Peluang kerja masih menjadi harapan banyak orang di Indonesia. Meski negara ini memiliki sumber daya manusia yang melimpah, kenyataannya tidak semua angkatan kerja terserap dalam dunia profesional. Hingga Agustus 2024, sekitar 7,47 juta penduduk usia kerja masih belum mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Selain itu, tidak semua mereka yang bekerja dapat menikmati stabilitas sektor formal, dengan banyak dari mereka beralih ke dunia pekerjaan informal yang lebih fleksibel namun penuh tantangan.

Pekerja Informal: Penyumbang Angka Terbesar dalam Dunia Kerja Indonesia

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Agustus 2024, sekitar 83,83 juta orang Indonesia bekerja di sektor informal, yang menyumbang 57,95 persen dari total 144,64 juta orang yang bekerja. Jumlah ini jauh lebih banyak dibandingkan mereka yang bekerja di sektor formal (42,05 persen). Pekerja informal ini mencakup individu yang bekerja secara mandiri, dengan bantuan pekerja tidak tetap, atau bahkan berprofesi sebagai pekerja lepas.

Di antara berbagai jenis pekerjaan informal, salah satu yang paling menonjol adalah pedagang makanan dan minuman keliling. Berdasarkan publikasi Statistik Makanan dan Minuman 2023, jumlah pekerja di sektor ini pada tahun tersebut mencapai 1.099.669 orang, tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Dalam hal ini, mereka menjual makanan dan minuman siap saji yang biasanya dijajakan dengan cara berkeliling, seperti tukang bakso keliling atau penjual gorengan yang kerap ditemukan di kawasan ramai.

Peran Pedagang Keliling dalam Ekonomi Lokal

Sektor makanan dan minuman keliling ini terutama banyak ditemukan di Pulau Jawa, terutama di Jawa Barat (36,5 persen), Jawa Timur (13,9 persen), Jawa Tengah (13,9 persen), dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta (6,5 persen). Angka ini wajar mengingat konsentrasi populasi yang tinggi di kawasan tersebut serta kebutuhan dasar akan makanan yang menjadi salah satu kebutuhan utama masyarakat. Dalam hal ini, bisnis ini menjadi sumber hidup bagi banyak orang, termasuk bagi mereka yang datang dari latar belakang pendidikan rendah.

Menariknya, sebagian besar pedagang ini sudah berpengalaman dalam bidangnya, dengan 42,83 persen dari mereka menjalankan usaha lebih dari 10 tahun. Namun, ada juga pedagang yang baru memulai usaha keliling ini dalam lima tahun terakhir. Pandemi Covid-19 yang membawa dampak buruk terhadap lapangan pekerjaan formal membuat banyak orang beralih ke sektor ini sebagai alternatif untuk mencari nafkah.

Dinamika Ekonomi: Omzet Pedagang Keliling yang Mencapai Triliunan Rupiah

Meskipun sering kali dianggap kecil, usaha makanan dan minuman keliling ini ternyata berputar dalam angka yang sangat besar. Pada 2023, pendapatan yang dihasilkan sektor ini tercatat mencapai Rp 75,3 triliun, lebih tinggi dari pendapatan usaha katering atau jasa boga yang hanya mencapai Rp 29,4 triliun. Bahkan, dibandingkan dengan restoran dan kafe yang mendulang pendapatan jauh lebih besar, usaha kecil ini berperan besar dalam perekonomian mikro, meski tanpa akses formal yang memadai.

Kemandirian dan Keterbatasan: Tantangan yang Dihadapi Pedagang Keliling

Namun, meskipun mereka menyumbangkan omzet yang besar, pedagang keliling seringkali berjuang dalam kesulitan. Sebagian besar dari mereka menjalankan usaha tanpa dukungan modal atau fasilitas yang memadai. Sebanyak 90,3 persen dari mereka beroperasi secara mandiri tanpa adanya bantuan finansial atau modal dari luar. Selain itu, mayoritas usaha ini belum terdaftar secara formal dengan Nomor Induk Berusaha (NIB) atau izin operasional usaha, yang membuat mereka rawan menghadapi penertiban atau hambatan birokrasi.

Peran Pemerintah dalam Melindungi dan Meningkatkan Kesejahteraan Pedagang Kecil

Penting bagi pemerintah untuk memberi perhatian lebih kepada sektor informal ultramikro seperti pedagang makanan keliling ini. Walaupun sektor ini memberi dampak besar pada perekonomian lokal, pedagang kecil ini sering kali kekurangan akses terhadap pembiayaan dan standar yang diperlukan. Hanya sedikit dari mereka yang memiliki sertifikat standar produk, seperti SNI atau sertifikat halal. Di sisi lain, penggunaan teknologi internet dalam promosi dan pemasaran produk juga masih sangat terbatas, yang menghalangi mereka untuk mengakses pasar yang lebih luas.

Berbagai kebijakan yang memberikan perlindungan terhadap usaha kecil ini sudah diterapkan di beberapa negara. Sebagai contoh, pemerintah kota Fukuoka di Jepang menyediakan tempat yang layak bagi pedagang kaki lima, dan hal serupa dilakukan oleh pemerintah Singapura dan Los Angeles. Inilah langkah-langkah yang bisa diambil oleh pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa sektor informal ini tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang secara berkelanjutan.

Dengan potensi yang besar dan kontribusinya terhadap perekonomian lokal, usaha makanan dan minuman keliling ini patut mendapatkan perhatian lebih. Di balik kesederhanaannya, usaha ini melibatkan ketekunan dan semangat berwirausaha yang luar biasa, dan dengan dukungan yang tepat, sektor ini bisa menjadi pilar penting dalam perekonomian Indonesia.

Also Read

Tags

Leave a Comment