Dalam langkah yang cukup mengejutkan, Presiden AS Donald Trump kembali mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap keterlibatan negaranya dalam konflik Ukraina. Tidak hanya soal anggaran besar yang sudah banyak digelontorkan untuk mendukung Ukraina, Trump juga memiliki sikap negatif terhadap NATO—bloki pertahanan yang diinginkan Ukraina untuk menjadi bagian darinya. Sikap tersebut berakar pada pandangan Trump mengenai ketidakadilan yang dirasakannya terkait kontribusi finansial dari negara-negara anggota aliansi tersebut.
Sebagai seorang pengusaha berpengalaman, Trump pernah berulang kali mengancam untuk menarik AS keluar dari NATO, dengan alasan bahwa aliansi tersebut membebani anggaran AS secara tidak proporsional. Ia menyoroti fakta bahwa banyak negara anggota NATO tidak memenuhi komitmen untuk menyisihkan 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) mereka untuk anggaran pertahanan. Trump merasa bahwa AS telah memikul beban yang tidak sebanding dengan kontribusi negara-negara lain dalam aliansi tersebut.
Selain itu, pandangan Trump terhadap kebijakan luar negeri AS saat ini juga mendapatkan sorotan dari sejumlah pakar. Heather Conley, seorang wakil asisten menteri luar negeri untuk Eropa Tengah di era Presiden George W. Bush, berpendapat bahwa Trump sedang berusaha menciptakan pendekatan internasional yang berbeda. Dalam perspektif Conley, Trump tampaknya ingin membangun kerjasama antara kekuatan-kekuatan besar dunia, yang memiliki kemampuan untuk menentukan arah politik dan ekonomi negara-negara kecil.
“Seperti pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, hanya negara-negara besar yang dapat memutuskan nasib suatu negara dan mengambil – baik melalui pembelian atau paksaan – apa pun yang memperkuat kepentingan ekonomi dan keamanan negara-negara besar,” ujar Conley, menjelaskan pendekatan yang tengah diambil Trump dalam situasi internasional saat ini.
Namun, ada satu alasan lebih pragmatis yang mengemuka terkait keputusan Trump untuk menarik diri dari Ukraina: potensi sumber daya alam, terutama minyak bumi Rusia. Menurut pandangan Michael J. Kelly, seorang senator dan profesor hukum di Creighton University, Trump mungkin memiliki motif ekonomi yang lebih besar dalam kebijakan luar negerinya. Kelly berpendapat bahwa Trump berusaha mendapatkan keuntungan ekonomi dengan memanfaatkan cadangan minyak Rusia yang saat ini dihargai sangat murah, sekitar $20 per barel, karena diberlakukannya sanksi oleh AS dan Uni Eropa.
“Pemerintahan Biden sudah melarang impor minyak Rusia sejak 2022, tetapi Trump berpeluang untuk mengubah kebijakan itu dengan menawarkan diskon harga minyak Rusia dalam jangka waktu tertentu. Ini bisa menjadi cara untuk meredam inflasi yang dipicu oleh tarif impor,” jelas Kelly. Melalui langkah ini, Trump ingin mendapatkan keuntungan jangka panjang bagi AS sembari mengamankan kepentingan ekonominya dengan Rusia.
Namun, agar diskon tersebut dapat terwujud, Trump dikabarkan menginginkan imbalan berupa pengakuan kedaulatan Rusia atas wilayah Ukraina yang telah dikuasai Kremlin, sekaligus memastikan bahwa Ukraina tidak akan menjadi bagian dari NATO. Langkah ini akan mempengaruhi arah geopolitik yang lebih luas, dengan AS yang kemungkinan besar akan mengubah kebijakan luar negerinya dalam jangka panjang.
Sementara itu, Trump tampaknya melihat peluang untuk membawa AS keluar dari peran aktif dalam konflik Ukraina, memfokuskan perhatian pada keuntungan ekonomi dan memperbaiki hubungan dengan negara-negara besar, dengan Rusia di antaranya, yang bisa menguntungkan ekonomi AS dalam waktu yang lebih lama.